Setelah pertemuan dan perkenalan itu,
Yudi dan Sofi semakin dekat. Yudi ternyata juga hanya tinggal bersama satu
orang tua, yaitu Papahnya. Mamahnya meninggal karena kecelakaan pesawat ketika
hendak berlibur keluar negeri. Yudi termasuk orang yang berada namun begitu dia
tidak pernah merasa tinggi hati dan menyombongkan diri. Dia pemuda yang mandiri
dan sangat sederhana. Karena
kesederhanaan itulah Aina Sofia akhirnya jatuh hati pada Yudistira Pratama.
Suatu hari, Sofi pergi ke sebuah
supermarket membeli kebutuhan yang sudah hampir habis di rumah, ditemani oleh
seorang sahabatnya bernama Wulan. Lalu di tengah perjalanan pulang ban motornya
maticnya bocor.
“Aduh gimana nih Lan, bannya bocor,”
dengan wajah kesal.
“Hmmm,, gimana dong Fhi, bengkel dari
sini masih jauh” ujar Wulan kebingungan.
“Iya nih, mana bentar lagi bakal turun
hujan” Sofi mengeluh.
Tak berapa lama sebuah motor dari jauh
melaju dengan kecepatan 60 km/jam. “Stop, stop, stooppp” Sofi dan Wulan berbarengan
menghentikan motor tersebut. Lalu si pengendara menghentikan laju motornya dan
membuka helmnya “Mbak Sofi?”, “Mas Yudi?” sahut Sofi, tersenyum dan merasa
lega.
“Kenapa mbak?”
“Ini lho mas, ban motorku bocor. Aku
bingung mas soalnya bengkel dari sini masih jauh.”
Wulan hanya tercengang melihat sosok
tampan yang ada dihadapannya, tak berkata apa-apa. “Hmm, sebentar mbak. Aku ada
langganan bengkel, nanti aku telpon dia suruh kesini buat gantiin ban motornya
mbak Sofi, nggak lama kok.” Yudi menawarkan, lalu menelpon bengkel
langganannya.
“Tapi nggak bakalan lama kan mas?
Soalnya Mamah nungguin di rumah, mau bikin kue untuk arisan.” Kata Sofi
“Iya nggak lama, sebentar lagi juga
datang.” Yudi tersenyum.
Sembari menunggu tukang bengkel
langganan Yudi datang mereka pun menghampiri penjual bakso yang sedang
nongkrong di pinggir jalan.
“Baksonya 3 yah mas.” Pesan Sofi kepada mas penjualnya, sambil
melebarkan senyum khasnya.
Hati Yudi berbisik pelan “Ya Tuhan,
gadis ini sungguh menawan. Tutur bahasanya begitu lembut, parasnya yang ayu,
sikapnya begitu baik dan sangat bersahaja. Hatinya bagai mutiara. Siapakah yang
telah memiliki hatimu duhai gadis berparas ayu…..?. Yudi tersentak.
“Ehm, mas Yudi pernah kan makan
bakso?” Sofi bertanya agak malu.
“Lho kok mbak Sofi bertanya seperti itu? Apa karena aku anak
orang berada sehingga mbak Sofi memandangku seperti itu? Tenang saja mbak, aku
juga punya langganan penjual bakso, kapan-kapan aku akan ngajak mbak Sofi makan
disana. Di jamin mbak Sofi bakal ketagihan.” Mereka pun tertawa. “Ya Tuhan,
betapa sederhananya pemuda ini, biarpun dia orang kaya tapi dia tidak pernah
menyombongkan diri atas apa yang dimilikinya. Dia tampan, cerdas, mandiri,
dewasa dan sepertinya penyayang. Sempurna. Andai aku………..” Sofi berceloteh
dalam hati hingga lamunannya dipecah oleh pertanyaan Yudi.
“Ngomong-ngomong, ini siapa mbak? Dari
tadi dia kok nggak pernah ngomong, hanya sesekali menatapku.”
“Oh, kenalin mas ini Wulan. Sahabatku
dari kecil.”
“Wulan ini mas Yudi, teman aku yang
kuceritakan kemarin.” Merekapun berjabat tangan, berkenalan dan
berbincang-bincang.
Akhirnya, ban motor Sofi selesai juga
ditambal. “Mas Yudi, makasih yah. Aku memang selalu merepotkan.” Ujar Sofi.
“Ah, nggak apa-apa kok mbak Sofi.
Santai saja.”.
“Ya udah mas. Aku pamit dulu, Mamah
dari tadi udah nunggu. Ayo Lan.”
“Iya hati-hati mbak. Eh nggak usah
bilang mas, Yudi aja. Kan kenalnya udah lama.”
“Iya mas, e-eh Yudi maksudnya. Iya
Yudi. Aku juga, Sofi aja. Nggak usah pake mbak, kesannya ketuaan banget. He…he…
“Ekhmmm…… Uuuhh kalian ini,
bercandanya udah dulu yah bentar lagi hujan tuh. Ayo Fhi.” Ketus Wulan sambil
mengajak Sofi pulang.
0 comments :
Posting Komentar
Silahkan Comment