PEREKONOMIAN Indonesia triwulan kedua tumbuh 2,8%, sehingga
selama dua kuartal pertama tahun ini pertumbuhan ekonomi sudah mencapai 6,4%.
“Ini berita baik,” kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Kinerja pertumbuhan ekonomi itu ditopang investasi di tengah
merosotnya kinerja ekspor. Penurunan ekspor tidak lepas dari anjloknya
perekonomian di Eropa dan Amerika Serikat. Terganggunya perekonomian di kedua
wilayah raksasa ekonomi itu jelas membuat banyak perekonomian ikut meriang.
Dahulu, banyak menteri tidak mengkhawatirkan terganggunya
perekonomian Eropa dan AS berdampak signifikan terhadap perekonomian kita.
Alasannya, ekspor kita tidak terlampau signifikan ke Eropa dibanding total
ekspor. Itu benar. Akan tetapi mereka mungkin lupa “demam” perekonomian AS dan
Eropa akan melemahkan permintaan mereka dari China dan India. Implikasinya,
jelas menekan permintaan mereka dari Indonesia.
Inilah koneksi perekonomian yang dikesampingkan karena
kepentingan politis. Misalnya, pejabat ingin terkesan percaya diri menenangkan
rakyat. Padahal, dalam dunia yang terintegrasi, gangguan sedikit di suatu zona,
beresonansi ke seluruh jagat raya ini. Gradasinya saja berbeda. “Kita tidak
hidup di ruang hampa, yang hanya ada kita sendiri,” kata Gubernur Bank
Indonesia, Darmin Nasution, suatu ketika.
Mengandalkan konsumsi domestik sebagai pembakar dan
pembangkit mesin pertumbuhan ekonomi nasional, tidak salah. Apalagi, seperti
dikatakan Jahja Setijatmadja, Direktur Utama BCA, dalam acara silaturahmi
Perbanas dan Forum Pemred, dengan pendapatan per kapita penduduk Indonesia yang
sudah melampaui 3.000 dolar AS, menyimpan potensi daya beli luar biasa. Itulah
sebabnya, impor kita masih terus “menyala”. Masalahnya, pertumbuhan ekonomi
berbasis konsumsi cukup rentan, karena ada limitasinya.
Apalagi, distribusi kenikmatan “kue” pertumbuhan itu sangat
tidak berimbang. Konon, pertumbuhan itu hanya dinikmati 20% penduduk.
Kontributor besar terhadap pertumbuhan ekonomi adalah sektor keuangan. Artinya,
hanya orang-orang berduitlah yang kembali menikmati lezatnya pertumbuhan
ekonomi.
Itulah jawaban mengapa anggaran pendapatan dan belanja
negara meningkat, produk domestik bruto sebagai ukuran besaran perekonomian
terus menggelembung, dan utang juga terus membengkak, namun orang miskin nyaris
tak menurun, barisan pengangguran malah tidak berkurang.
Inilah pula yang membuat perekonomian Indonesia masih tetap
seperti orang galau. Betapa tidak, pertumbuhan ekonomi tinggi itu diwarnai
persoalan kelangkaan dan peningkatan harga kedelai, gula, beras, daging sapi.
Dan inilah ironi negeri agraris, yang babak belur dalam mengurus pangan.
Janganlah dulu kita bicara soal ketahanan pangan, tetapi ketersediaan pangan
saja kita masih kelimpungan.
Pedagang tempe keliling, warung tegal, warung nasi Padang,
sangat galau karena harga tempe melonjak-lonjak. Harga tempe selangit karena
kedelai impor mahal dan langka. Kita marah ketika tempe dipatenkan orang asing.
Tetapi kita hanya bisa marah-marah, lupa mengerjakan pekerjaan rumah kita.
Terlalu riskan menggadaikan kebutuhan pangan rakyat
Indonesia pada bangsa asing. Begitu tersiar kabar Indonesia dilanda kekeringan,
misalnya, harga komoditas pertanian di pasar internasional langsung digiring
melonjak. Pelaku pasar internasional komoditas pangan tahu betul Indonesia
adalah pasar luar biasa besar skalanya. Ada 240 juta penduduk butuh pangan.
Janganlah pandai membuat jargon bagus tetapi minus
implementasi. Pro-rakyat, pro-pertumbuhan, pro-orang miskin, pro-lapangan
kerja, sudah cukuplah. Kini ada lagi jargon pertumbuhan ekonomi berkeadilan.
Bagaimana penjelasan pertumbuhan ekonomi berkeadilan jika
hanya dinikmati 20% penduduk? Bagaimana mengatakan perekonomian berkeadilan
kalau penduduk asli di Kalimantan sangat susah mendapatkan sejengkal tanah,
sementara “orang luar” dengan mudahnya mengkapling areal tambang ribuan bahkan
ratusan hektar? Sumber : ekonomi.inilah.com
0 comments :
Posting Komentar
Silahkan Comment