Jumat, 07 September 2012

Perekonomian Galau


PEREKONOMIAN Indonesia triwulan kedua tumbuh 2,8%, sehingga selama dua kuartal pertama tahun ini pertumbuhan ekonomi sudah mencapai 6,4%. “Ini berita baik,” kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Kinerja pertumbuhan ekonomi itu ditopang investasi di tengah merosotnya kinerja ekspor. Penurunan ekspor tidak lepas dari anjloknya perekonomian di Eropa dan Amerika Serikat. Terganggunya perekonomian di kedua wilayah raksasa ekonomi itu jelas membuat banyak perekonomian ikut meriang.

Dahulu, banyak menteri tidak mengkhawatirkan terganggunya perekonomian Eropa dan AS berdampak signifikan terhadap perekonomian kita. Alasannya, ekspor kita tidak terlampau signifikan ke Eropa dibanding total ekspor. Itu benar. Akan tetapi mereka mungkin lupa “demam” perekonomian AS dan Eropa akan melemahkan permintaan mereka dari China dan India. Implikasinya, jelas menekan permintaan mereka dari Indonesia.
Inilah koneksi perekonomian yang dikesampingkan karena kepentingan politis. Misalnya, pejabat ingin terkesan percaya diri menenangkan rakyat. Padahal, dalam dunia yang terintegrasi, gangguan sedikit di suatu zona, beresonansi ke seluruh jagat raya ini. Gradasinya saja berbeda. “Kita tidak hidup di ruang hampa, yang hanya ada kita sendiri,” kata Gubernur Bank Indonesia, Darmin Nasution, suatu ketika.

Mengandalkan konsumsi domestik sebagai pembakar dan pembangkit mesin pertumbuhan ekonomi nasional, tidak salah. Apalagi, seperti dikatakan Jahja Setijatmadja, Direktur Utama BCA, dalam acara silaturahmi Perbanas dan Forum Pemred, dengan pendapatan per kapita penduduk Indonesia yang sudah melampaui 3.000 dolar AS, menyimpan potensi daya beli luar biasa. Itulah sebabnya, impor kita masih terus “menyala”. Masalahnya, pertumbuhan ekonomi berbasis konsumsi cukup rentan, karena ada limitasinya.

Apalagi, distribusi kenikmatan “kue” pertumbuhan itu sangat tidak berimbang. Konon, pertumbuhan itu hanya dinikmati 20% penduduk. Kontributor besar terhadap pertumbuhan ekonomi adalah sektor keuangan. Artinya, hanya orang-orang berduitlah yang kembali menikmati lezatnya pertumbuhan ekonomi.

Itulah jawaban mengapa anggaran pendapatan dan belanja negara meningkat, produk domestik bruto sebagai ukuran besaran perekonomian terus menggelembung, dan utang juga terus membengkak, namun orang miskin nyaris tak menurun, barisan pengangguran malah tidak berkurang.

Inilah pula yang membuat perekonomian Indonesia masih tetap seperti orang galau. Betapa tidak, pertumbuhan ekonomi tinggi itu diwarnai persoalan kelangkaan dan peningkatan harga kedelai, gula, beras, daging sapi. Dan inilah ironi negeri agraris, yang babak belur dalam mengurus pangan. Janganlah dulu kita bicara soal ketahanan pangan, tetapi ketersediaan pangan saja kita masih kelimpungan.

Pedagang tempe keliling, warung tegal, warung nasi Padang, sangat galau karena harga tempe melonjak-lonjak. Harga tempe selangit karena kedelai impor mahal dan langka. Kita marah ketika tempe dipatenkan orang asing. Tetapi kita hanya bisa marah-marah, lupa mengerjakan pekerjaan rumah kita.

Terlalu riskan menggadaikan kebutuhan pangan rakyat Indonesia pada bangsa asing. Begitu tersiar kabar Indonesia dilanda kekeringan, misalnya, harga komoditas pertanian di pasar internasional langsung digiring melonjak. Pelaku pasar internasional komoditas pangan tahu betul Indonesia adalah pasar luar biasa besar skalanya. Ada 240 juta penduduk butuh pangan.
Janganlah pandai membuat jargon bagus tetapi minus implementasi. Pro-rakyat, pro-pertumbuhan, pro-orang miskin, pro-lapangan kerja, sudah cukuplah. Kini ada lagi jargon pertumbuhan ekonomi berkeadilan. 

Bagaimana penjelasan pertumbuhan ekonomi berkeadilan jika hanya dinikmati 20% penduduk? Bagaimana mengatakan perekonomian berkeadilan kalau penduduk asli di Kalimantan sangat susah mendapatkan sejengkal tanah, sementara “orang luar” dengan mudahnya mengkapling areal tambang ribuan bahkan ratusan hektar? Sumber : ekonomi.inilah.com

0 comments :

Posting Komentar

Silahkan Comment