Ada seorang gadis yang
sangat sederhana dan apa adanya, dalam urusan asmara dia terbilang susah untuk
betul-betul menerima seorang lelaki, bukan karena dia pemilih-milih tapi karena
dia tak ingin salah dalam memilih. Prinsipnya sekali jatuh cinta maka dia tak
akan melepaskan cintanya itu sampai Tuhan memisahkan. Namun kemudian dia jatuh
cinta pada seorang pemuda yang bisa dibilang tampan, cerdas dan sangat dewasa.
Mereka pun berkenalan, sejak awal bertemu gadis itu langsung mengagumi sosok
pemuda tersebut, hingga akhirnya benih-benih cinta mulai tumbuh di hati sang
gadis. Namun tak di sangka, sang pemuda juga ternyata diam-diam memendam
perasaan yang sama
padanya. Gadis itu bernama Aina Sofia yang akrab disapa Sofi, dan pemuda itu
bernama Yudistira Pratama yang akrab disapa Yudi.
AWAL PERTEMUAN
Hujan turun begitu lebatnya
hingga menghambat perjalanan Sofi yang saat itu pulang dari tempat kursusnya,
dia pun memutuskan untuk berteduh di depan sebuah kios lelaki Tionghoa.
“Koh,
aku numpang berteduh sebentar ya?”
“Iya,
silahkan saja.”
Sambil menyeka rembesan air hujan yang
mengguyurnya dia menoleh kekiri dan kekanan lalu menatap lurus ke depan jalanan
raya yang kuyup karena derasnya hujan, begitu sepi hanya beberapa orang saja
yang terlihat lewat sambil berlari kecil mencari tempat berteduh. Di tengah
asyiknya menikmati kesyahduan suara hujan tiba-tiba datang seorang lelaki.
“Numpang
berteduh Koh.”
Lelaki
Tionghoa
itu hanya tersenyum dan menganggukkan kepala. Tanpa menyadari bahwa ada seorang
gadis yang sedang bersamanya berteduh di tempat yang sama, pemuda itu
mengepak-ngepakkan rambutnya yang basah kuyup diguyur hujan hingga menciprat
wajah sang gadis sampai bersin. “Acchiinn, duh”. Pemuda itu kemudian menoleh
dengan raut wajah kaget dan berkata “Eh ada orang ternyata disini, maaf.”
Dengan senyum kecutnya. Sofi langsung terpana memandang wajah si pemuda,
“Sungguh indah memahat wajahmu duhai sang…………” kicaunya dalam hati namun
buru-buru memotong ucapannya dan tertunduk menatap lantai kios.
Setelah
beberapa lama hujan semakin deras disertai petir yang menggelegar, dengan
perasaan yang sungkan lelaki itu kemudian melangkah kesamping menghampiri gadis
tersebut dan memberanikan diri untuk berkenalan.
“Maaf,
tentang kejadian tadi. Aku benar-benar tidak tahu kalau ternyata mbak ada di
dekatku.” Berusaha memekarkan senyumnya.
“Oh
iya nggak apa-apa kok.” Menjawab seadanya. Namun dadanya bergetar hebat
“Hmm,,,
kalau boleh tahu nama mbak siapa?” memberanikan diri berkenalan.
Gadis
itu tak menjawab, hanya menoleh sebentar kemudian menatap lagi ke jalan raya.
“Oh,
maaf kalau aku salah ngomong.” Kata si pemuda
“Namaku
Sofi, Aina Sofia.” Sambil mengulurkan tangannya berniat menjabat.
Dengan
senyum pemuda itu menjawab “Aku Yudi, Yudistira Pratama.” Menjabat tangan sang
gadis.
Mereka
pun berkenalan dan ngobrol layaknya orang yang baru bertemu. Akhirnya hujan
reda juga setelah kurang lebih hampir 2 jam mengguyur semesta. Obrolan mereka
pun berakhir.
“Mas
Yudi, aku duluan yah” kata Sofi
“Iya,
iya, hati-hati dijalan mbak Sofi”
Sofi
pun pergi meninggalakn kios itu dengan sedikit berlari kecil, karena waktu itu
Sofi tak memakai kendaraannya sebab jarak antara tempat kursus dan rumahnya
tidak begitu jauh. “Ayu sekali paras
gadis itu, senyum yang tersungging di bibirnya begitu indah, sederhana namun
bersahaja. Aina Sofia nama yang indah” ujarnya dalam hati. Ternyata Yudi
melupakan sesuatu, “Ah, kenapa aku lupa menanyakan alamatnya.” Sambil
menyentakkan kaki di lantai. Buru-buru dia mengendarai motornya dan mengejar
Sofi yang belum terlalu jauh.
“Piiip
piiippp” Yudi membunyikan klakson motornya.
“Eh
Mas Yudi, ada apa lagi mas? Ada yang ketinggalan tadi?” Sofi menoleh, bertanya
keheranan
“Iya
mbak Sofi, aku lupa nanyain alamat mbak dimana?he…. he…”
Dengan
senyum khasnya Sofi menunjuk ujung jalan “Itu di depan sana mas, sebelum belokan
itu rumah aku.” Kemudian menawarkan “Kalau mas Yudi mau mampir silahkan saja,
nggak apa-apa. Karena hujan juga belum reda banget, kan?”
Yudi
tersenyum sumringah “Kalau mampir sekarang boleh nggak mbak? Ya nggak ada
maksud lain sih, cuma pengen liat rumah mbak aja.” Sofi mengangguk tanda
mengiyakan.
“Naik
aja ke motorku mbak, biar ku bonceng sampai depan rumah.” Usul Yudi.
“Makasih
mas tapi udah dekat kok, biar aku
jalan kaki saja.”
Setelah
sampai di depan pagar rumah Sofi, Yudi pun memarkir motornya, di garasi
terlihat sebuah motor keluaran terbaru yang memang hanya cocok untuk seorang
wanita. Lalu di ajak oleh Sofi untuk masuk. “Mari silahkan masuk Mas Yudi, maaf
rumah Sofi berantakan.” Sela Sofi. “Oh tidak, tidak. Rumah serapi ini masih
mbak Sofi bilang berantakan? Wah,sampai segitunya dengan kerapihan.” Mereka
tertawa berbarengan.
Sembari
melihat-lihat isi rumah Sofi yang terbilang sederhana namun desain interiornya
sangat indah dan eksotik,coretan warna disetiap dinding terlihat sangat menyatu
dengan pernak pernik yang ada di dalam rumah itu, menandakan si penghuni rumah
sangat menyukai seni. Yudi tersenyum takjub. Memang kedua orang tua Sofi adalah
seorang seniman, dua-duanya pelukis. Kemudian Sofi datang dengan membawa
secangkir teh hijau hangat asli dari Jepang di iringi dengan seorang wanita
paru baya.
“Kenapa mas Yudi?” suara Sofi mengagetkan Yudi
yang sedang asyik menikmati seluruh keindahan rumah itu, lalu menoleh.
“Eh
mbak Sofi, aku benar-benar terpesona dengan keindahan lukisan disana” sambil
menunjuk sebuah lukisan seorang gadis berparas ayu.
“Oh itu hadiah ulang tahunku mas, dari
almarhum Papah” kemudian menyuguhkan secangkir teh hangat dari Jepang itu.
“Oh
ya mas, kenalin ini Mamah”, “Mah, ini mas Yudi. Pemuda yang aku ceritakan tadi.”
Wanita
paru baya itu tersenyum lalu menyalami Yudi, Yudi pun membalas “Yudi. Yudistira
Pratama, tante.”
Mereka
pun ngobrol, dan keakraban mulai tercipta di antara mereka. Tanpa sungkan Yudi
lalu menunjukkan kepiawaiannya memainkan piano di depan Sofi dan Mamahnya.
KEAKRABAN
YANG TERJALIN
Setelah pertemuan dan
perkenalan itu, Yudi dan Sofi semakin dekat. Yudi ternyata juga hanya tinggal
bersama satu orang tua, yaitu Papahnya. Mamahnya meninggal karena kecelakaan
pesawat ketika hendak berlibur keluar negeri. Yudi termasuk orang yang berada
namun begitu dia tidak pernah merasa tinggi hati dan menyombongkan diri. Dia
pemuda yang mandiri dan sangat sederhana. Karena kesederhanaan itulah Aina Sofia
akhirnya jatuh hati pada Yudistira Pratama.
Suatu hari, Sofi pergi ke
sebuah supermarket membeli kebutuhan yang sudah hampir habis di rumah, ditemani
oleh seorang sahabatnya bernama Wulan. Lalu di tengah perjalanan pulang ban
motornya maticnya bocor.
“Aduh gimana nih Lan,
bannya bocor,” dengan wajah kesal.
“Hmmm,, gimana dong Fhi,
bengkel dari sini masih jauh” ujar Wulan kebingungan.
“Iya nih, mana bentar lagi
bakal turun hujan” Sofi mengeluh.
Tak berapa lama sebuah
motor dari jauh melaju dengan kecepatan 60 km/jam. “Stop, stop, stooppp” Sofi
dan Wulan berbarengan menghentikan motor tersebut. Lalu si pengendara
menghentikan laju motornya dan membuka helmnya “Mbak Sofi?”, “Mas Yudi?” sahut
Sofi, tersenyum dan merasa lega.
“Kenapa mbak?”
“Ini lho mas, ban motorku
bocor. Aku bingung mas soalnya bengkel dari sini masih jauh.”
Wulan hanya tercengang
melihat sosok tampan yang ada dihadapannya, tak berkata apa-apa. “Hmm, sebentar
mbak. Aku ada langganan bengkel, nanti aku telpon dia suruh kesini buat gantiin
ban motornya mbak Sofi, nggak lama kok.” Yudi menawarkan, lalu menelpon bengkel
langganannya.
“Tapi nggak bakalan lama
kan mas? Soalnya Mamah nungguin di rumah, mau bikin kue untuk arisan.” Kata
Sofi
“Iya nggak lama, sebentar
lagi juga datang.” Yudi tersenyum.
Sembari menunggu tukang
bengkel langganan Yudi datang mereka pun menghampiri penjual bakso yang sedang
nongkrong di pinggir jalan.
“Baksonya 3 yah mas.” Pesan Sofi kepada mas penjualnya, sambil
melebarkan senyum khasnya.
Hati Yudi berbisik pelan
“Ya Tuhan, gadis ini sungguh menawan. Tutur bahasanya begitu lembut, parasnya
yang ayu, sikapnya begitu baik dan sangat bersahaja. Hatinya bagai mutiara.
Siapakah yang telah memiliki hatimu duhai gadis berparas ayu…..?. Yudi
tersentak.
“Ehm, mas Yudi pernah kan
makan bakso?” Sofi bertanya agak malu.
“Lho kok mbak Sofi bertanya seperti itu? Apa karena aku anak
orang berada sehingga mbak Sofi memandangku seperti itu? Tenang saja mbak, aku
juga punya langganan penjual bakso, kapan-kapan aku akan ngajak mbak Sofi makan
disana. Di jamin mbak Sofi bakal ketagihan.” Mereka pun tertawa. “Ya Tuhan,
betapa sederhananya pemuda ini, biarpun dia orang kaya tapi dia tidak pernah
menyombongkan diri atas apa yang dimilikinya. Dia tampan, cerdas, mandiri,
dewasa dan sepertinya penyayang. Sempurna. Andai aku………..” Sofi berceloteh
dalam hati hingga lamunannya dipecah oleh pertanyaan Yudi.
“Ngomong-ngomong, ini siapa
mbak? Dari tadi dia kok nggak pernah ngomong, hanya sesekali menatapku.”
“Oh, kenalin mas ini Wulan.
Sahabatku dari kecil.”
“Wulan ini mas Yudi, teman
aku yang kuceritakan kemarin.” Merekapun berjabat tangan, berkenalan dan
berbincang-bincang.
Akhirnya, ban motor Sofi
selesai juga ditambal. “Mas Yudi, makasih yah. Aku memang selalu merepotkan.”
Ujar Sofi.
“Ah, nggak apa-apa kok mbak
Sofi. Santai saja.”.
“Ya udah mas. Aku pamit
dulu, Mamah dari tadi udah nunggu. Ayo Lan.”
“Iya hati-hati mbak. Eh
nggak usah bilang mas, Yudi aja. Kan kenalnya udah lama.”
“Iya mas, e-eh Yudi
maksudnya. Iya Yudi. Aku juga, Sofi aja. Nggak usah pake mbak, kesannya ketuaan
banget. He…he…
“Ekhmmm…… Uuuhh kalian ini,
bercandanya udah dulu yah bentar lagi hujan tuh. Ayo Fhi.” Ketus Wulan sambil
mengajak Sofi pulang.
0 comments :
Posting Komentar
Silahkan Comment