Pagi itu saat
Yudi masih asik bermain dengan mimpinya tiba-tiba dia terbangun karena
dikagetkan oleh suara handphonenya yang berdering, terdengar suara Sofi dari
seberang telephone “Halo Yud. Selamat pagi sayang.” Sofi bersemangat, “Halo
juga yank.Hhhmm” Yudi mendesah nafas. “Kamu dah bangun belum?” Yank, hari ini
kamu ke rumah yah. Mamah ingin ketemu sama kamu.” “Iya, aku udah bangun kok.
Apa? Mamahmu ingin ketemu sama aku?” Yudi kaget, dia bertanya-tanya dalam hati
mengapa tiba-tiba mamahnya Sofi ingin bertemu dengannya? Apakah dia telah
berbuat kesalahan?. Yudi tak merespon Sofi.
“Halo, sayang
kamu masih di situ kan?”
“I-iya yank.”
“Kamu bisa kan
ke rumah hari ini? Please.” Sofi memelas.
“Iya iya. Aku ke rumahmu. Tapi nanti setelah
pulang dari kantor, gak apa-apa kan?”
“Hmm… Oke gak
apa-apa. Ya udah aku tunggu yah.”
“Oke, sayang.
Daahh.
“Dahh…” Sofi
menutup telephone.
Dengan hati yang
berbunga-bunga Sofi mempersiapkan beberapa
masakan yang dibuatnya bersama mamahnya untuk menyambut kedatangan Yudi.
Hari itupun sangat cerah membuat hati Sofi semakin bersemangat. Beberapa jam
kemudian akhirnya yang di tunggu pun datang. Setelah memarkir mobilnya di depan
rumah Sofi, dengan langkah yang pelan namun terlihat sangat perkasa Yudi
berjalan memasuki teras dan mengetuk pintu. Lalu pintu itupun di buka oleh
seorang gadis yang terlihat sangat anggun dengan gaun berwarna biru muda dan
semakin terlihat ayu dengan senyum khas yang tersungging di bibirnya. Sofi
mempersilahkan Yudi masuk dan duduk di kursi berwarna merah marun dengan motif
kuning keemasan. Menyuguhkan minuman dan beberapa macam jenis kue.
“Ayo Yud. Di
minum airnya, kuenya di cicipi. Buatanku lho.” Sofi tersenyum.
“Wah, yang
benner kamu? Kelihatannya enak.” Yudi mencicipi sebuah kue brawnies buatan
Sofi.
“Hmmm, yank
mamah kamu mana?” Tanya Yudi. Tapi belum sempat Sofi menjawab, wanita paruh
baya itupun muncul.
“Eh ‘nak Yudi
sudah datang toh. Gimana kue buatan Sofi? Enak nggak?”
“Enak tante.
Ternyata Sofi pintar juga yah bikin kue seenak ini.” Yudi memuji. Sofi hanya
tersenyum dan tersipu malu.
Mereka pun larut
dalam obrolan yang panjang. Mulai dari masalah pekerjaan, keluarga, hingga
masalah asmara. Karena keasyikan ngobrol tak terasa hari sudah mulai sore. Yudi
pun bergegas untuk pulang.
“Sofi, tante.
Kayaknya dari tadi kita keasyikan ngobrol deh sampai lupa waktu. Ini sudah
sore, aku juga ada janji dengan Ivan malam ini, kalau gitu aku mau pamit pulang
dulu.” Ujar Yudi.
“Iya yah. Tapi
kamu pasti heran kan? Kenapa tante memanggil kamu kesini. Tunggu sebentar ‘nak Yudi. Tante mau
memberikan sesuatu sama kamu.” Mamah Sofi pun berjalan menuju sebuah ruang
untuk mengambil barang yang akan di berikan kepada Yudi.
“Mamahmu ingin
memberikan apa sih, Fhi?” Tanya Yudi penasaran.
“Udah, kamu liat
aja nanti. Aku yakin kamu pasti menyukainya.” Sahut Sofi sambil tersenyum.
“Nah. Ini tante
buat khusus untuk kamu ‘nak. Mudah-mudahan kamu suka yah. Tapi di bukanya nanti
dirumah.” Sambil menyodorkan lukisan yang terbungkus rapi itu. “Tante
perhatikan waktu pertama kali kamu kesini, kamu sangat tertarik dengan lukisan
disana. Akhirnya tante berinisiatif untuk membuatkan kamu lukisan juga,
meskipun itu agak sedikit berbeda.”
“Aduh tante, aku
jadi nggak enak sama tante dan Sofi. Sampai segitu repotnya.” Ujar Yudi.
“Udah. Kamu
terima aja. Mumpung gratis kan? He-he-he. Sofi tertawa diiringin dengan gelak
tawa Yudi dan Mamah Sofi.
“Iya mumpung
gratis. Tapi makasih lho tante, Sofi. Aku sangat menghargai ini.”
“Sama-sama ‘nak
Yudi.”
“Kalau gitu aku
pamit dulu.”
“Iya. Hati-hati
di jalan ‘nak.”
Yudi pun pamit
dan diantar oleh Sofi sampai ke depan pagar. “Fhi, makasih yah. Ini benar-benar
kejutan buat aku.” Yudi tersenyum. “Sama-sama, yank.” Sofi membalas senyum Yudi.
Kemudian Yudi melaju dengan mobilnya, hingga luput dari penglihatan Sofi.
Akhir-akhir ini
Yudi sangat di sibukkan oleh pekerjaannya di kantor, terlebih karena sekarang
Papahnya sedang sakit dan di vonis mengidap penyakit jantung koroner. Sehingga
dia harus mendapat perawatan yang intensif di rumah sakit luar negeri, dan Yudi
pun harus bekerja ekstra agar perusahaan
yang saat ini sudah menjadi tanggung jawabnya tidak mengalami kebangkrutan.
Sofi pun terbilang sibuk dengan pekerjaannya karena dia sudah bekerja di
beberapa tempat kursus bahasa asing, karena kemahirannya menguasai beberapa
bahasa asing. Tapi perhatian Yudi kepada Sofi, begitu pun Sofi kepada Yudi
tidak berkurang sedikitpun, sebisa mungkin mereka bertemu di sela-sela
kesibukannya dan saling berbagi cerita.
Suatu hari, Yudi
menerima telephone dari Papahnya yang berada di luar negeri. Meminta Yudi untuk
sementara ikut pindah kesana, karena Papahnya tidak sanggup mengurusi bisnisnya
sendiri yang juga sudah semakin berkembang di luar negeri.
“Tapi pah, aku
juga tidak bisa serta merta meninggalkan bisnis Papah disini. Ini juga penting
pah.” Ucap Yudi kepada Papahnya diseberang telephone.
“Kamu nggak usah
khawatir, Yud. Papah sudah bicara dengan paman kamu, Edwin Setiawan. Dia siap
memimpin perusahaan selama kamu mengurusi bisnis Papah disini.” Ujar Papah
Yudi. “Kamu nggak usah takut, paman kamu itu adalah salah satu orang
kepercayaan Papah.” Papahnya meyakinkan.
“Oke, Pah. Aku
akan berangkat 3 hari lagi.” Tanpa berfikir panjang, Yudi langsung menyetujui
permohonan Papahnya. Mengingat bisnis keluarganya yang terbilang sangat penting
dan kesehatan Papahnya yang semakin hari semakin memburuk.
Sofi bangun
lemas dari ranjangnya. Dengan lunglai ia merebahkan tubuhnya lagi ke atas
kasurnya yang hangat, lalu memejamkan mata. Kenapa perasaanku nggak enak yah?
Tadi serasa mimpi buruk, pikirnya. Tapi Sofi tidak tahu pasti artinya. Kejadian
itu membuatnya gemetaran dalam tidurnya dan sekaligus membuatnya terpaksa
bangun dengan rasa tidak nyaman.
Siang itu, Yudi dan
Sofi bertemu di taman yang sudah menjadi tempat favorit mereka. Awalnya mereka
masih santai dengan obrolan mereka, tertawa. Tapi kemudian dengan hati yang
berdebar Yudi memberanikan diri membicarakan rencananya pindah ke luar negeri.
“Fhi, kamu
baik-baik aja kan?” Tanya Yudi sembari menatap wajah Sofi.
“Kok kamu
tiba-tiba nanya kayak gitu sih, yank? Yah aku baik-baik ajalah. Emang kamu liat
aku sakit yah?” Sofi menggeleng kepala.
“Nggak sayang,
aku hanya mengkhawatirkan kamu aja. Yank, aku pengen ngomongin sesuatu, boleh?”
Yudi memandang Sofi dengan pandangan serius.
“Kamu mau
ngomongin apa, yank?” Tanya Sofi keheranan.
“Hmmm…. “ Yudi
mengatur nafasnya. “Aku nggak tahu harus mulai dari mana. Fhi, sebelumnya aku
minta maaf sama kamu, ini mungkin agak berat untuk kamu terima. Dua hari lagi aku
harus berangkat keluar negeri, yank. Ujung-ujungnya aku juga yang harus
mengurus semua bisnis Papah. Ini……” Yudi terbata-bata dan tak melanjutkan
ucapannya.
Sofi tak
berkata-apa-apa. Dia hanya menunduk diam dan tak mau menatap wajah Yudi. Sangat
jelas di raut wajahnya dia sangat kaget, tiba-tiba Yudi ingin pindah keluar
negeri.
“Fhi, dengar ini
juga bukan keinginanku. Ini keinginan Papah dan kamu tahu kan sekarang kondisi
kesehatan Papah gimana? Aku nggak mau mengecewakan Papah. Sofi masih membisu.
Suasana hening untuk beberapa saat.
“Yank, percaya
sama aku. Ini juga untuk kita berdua nantinya. Aku nggak akan lama.” Yudi
berusaha membujuk Sofi agar mau bicara.
“Berapa lama?”
Sofi akhirnya bicara.
“Mungkin satu
tahun, atau mungkin kurang dari itu, atau malah lebih. Aku nggak tahu, Fhi.”
Yudi mendesah nafas.
“Apa? Satu
tahun? Mungkin kurang? Atau mungkin malah lebih? Kamu ini bicara apa sih Yud,
satu tahun itu bukan waktu yang singkat. Nada suara Sofi meninggi dan dia mulai
menangis, terlihat di ujung kelopak matanya genangan air mata tak kuat
menampungnya dan akhirnya tumpah juga.
“Yank, dengerin
aku…………” Sambil memegang tangan Sofi namun tak melanjutkan ucapannya. Tapi Sofi
malah melepaskan genggaman tangan Yudi.
“Kenapa, Yud?
Kenapa kamu harus pergi di saat perasaan sayangku semakin besar kepadamu?” Sofi
semakin terisak-isak.
“Fhi, dengerin
aku. Ini bukanlah perpisahan untuk selamanya antara kita. Aku tidak akan
meninggalkanmu.”
“Lalu apa
namanya kalau bukan meninggalkan aku?”
“Kita memang
akan terpisah oleh jarak, yank. Tapi kamu harus tahu hatiku, hatimu tidak akan
terpisahkan. Kamu akan selalu ada di hatiku. Disini….” Yudi menunjuk ke
dadanya.
“Lihat aku
yank.” Yudi memegang dagu Sofi dan mengangkat wajahnya yang sudah kelihatan
merah dan mata yang sembab. “Aku ingin jadi cowok yang bisa kamu banggakan. Itu
tekadku sebagai cowokmu. Kemarin-kemarin aku sempat berfikir, di mana nilai
seorang laik-laki itu? Tapi setelah aku ingat Papahku, ingat almarhumah Mamah,
dan dikasih tahu sama Lidya juga, aku punya kesimpulan. Nilai seorang laki-laki
itu terletak pada kemampuan dia untuk menjalankan tanggung jawabnya pada
lingkungan, pekerjaan, keluarga, dan terutama pada diri sendiri. Dan bagiku,
nilai seorang Yudistira Pratama adalah seberapa mampu dia menjaga, menyayangi,
dan membuat bangga Papahnya, adiknya, dan Aina Sofia. Yap, aku ingin bisa
menjadi orang yang kamu banggakan, Fhi. Seperti dalam cerita, from zero to hero.”
Sofi menatap
Yudi begitu dalam, namun dia hanya membisu. Tapi tak berapa lama kemudian Sofi
akhirnya bicara lagi.
“Aku sayang sama
kamu, Yud.” Sofi memeluk Yudi begitu erat dengan air mata berlelehan di
pipinya.
“Aku juga sayang
sama kamu, Fhi. Percayalah apa yang aku lakukan ini untuk kita berdua.” Yudi pun memeluk Sofi.
“Jaga cinta kita
yah, sayang. Aku percaya sama kamu.” Ujar Sofi dengan suara serak tapi dia
berusaha tersenyum.
“Pasti sayang.
Aku akan jaga cinta kita. Menjaga hatiku dan hatimu.” Yudi kembali memeluk Sofi
dan mencium keningnya.
Sofi akhirnya
bisa menerima keputusan Yudi yang untuk sementara waktu harus tinggal di luar
negeri bersama Papahnya dan mengurusi bisnis mereka disana. Dua hari kemudian
Yudi pun berangkat keluar negeri, Sofi mengantarnya sampai ke bandara. Namun
walaupun begitu, hati Sofi tetap terasa sakit karena harus terpisahkan oleh
jarak yang begitu jauh dengan sang kekasih. “Yud, sesungguhnya aku masih sulit
menerima ini. Ketika harus terpisah jauh olehmu, aku tak bisa. Dengan waktu
yang tak pasti, aku harus setia menunggumu disini.” Lirih terdengar suara hati
Sofi.
Sebelum tengah malam,
biarlah aku meletakkan
Setangkai mawar di tepi
jendelamu
Sebagai pengingat janji
kita
Bila tanah ini sudah kering
dan terpuas birahi, mari
Kita rajut mimpi-mimpi yang
kita titipkan pada
Bulan di atas sana
0 comments :
Posting Komentar
Silahkan Comment