Jumat, 31 Mei 2013

Jaga CINTA Kita


Pagi itu saat Yudi masih asik bermain dengan mimpinya tiba-tiba dia terbangun karena dikagetkan oleh suara handphonenya yang berdering, terdengar suara Sofi dari seberang telephone “Halo Yud. Selamat pagi sayang.” Sofi bersemangat, “Halo juga yank.Hhhmm” Yudi mendesah nafas. “Kamu dah bangun belum?” Yank, hari ini kamu ke rumah yah. Mamah ingin ketemu sama kamu.” “Iya, aku udah bangun kok. Apa? Mamahmu ingin ketemu sama aku?” Yudi kaget, dia bertanya-tanya dalam hati mengapa tiba-tiba mamahnya Sofi ingin bertemu dengannya? Apakah dia telah berbuat kesalahan?. Yudi tak merespon Sofi.
“Halo, sayang kamu masih di situ kan?”
“I-iya yank.”
“Kamu bisa kan ke rumah hari ini? Please.” Sofi memelas.
 “Iya iya. Aku ke rumahmu. Tapi nanti setelah pulang dari kantor, gak apa-apa kan?”
“Hmm… Oke gak apa-apa. Ya udah aku tunggu yah.”
“Oke, sayang. Daahh.
“Dahh…” Sofi menutup telephone.
Dengan hati yang berbunga-bunga Sofi mempersiapkan beberapa  masakan yang dibuatnya bersama mamahnya untuk menyambut kedatangan Yudi. Hari itupun sangat cerah membuat hati Sofi semakin bersemangat. Beberapa jam kemudian akhirnya yang di tunggu pun datang. Setelah memarkir mobilnya di depan rumah Sofi, dengan langkah yang pelan namun terlihat sangat perkasa Yudi berjalan memasuki teras dan mengetuk pintu. Lalu pintu itupun di buka oleh seorang gadis yang terlihat sangat anggun dengan gaun berwarna biru muda dan semakin terlihat ayu dengan senyum khas yang tersungging di bibirnya. Sofi mempersilahkan Yudi masuk dan duduk di kursi berwarna merah marun dengan motif kuning keemasan. Menyuguhkan minuman dan beberapa macam jenis kue.
“Ayo Yud. Di minum airnya, kuenya di cicipi. Buatanku lho.” Sofi tersenyum.
“Wah, yang benner kamu? Kelihatannya enak.” Yudi mencicipi sebuah kue brawnies buatan Sofi.
“Hmmm, yank mamah kamu mana?” Tanya Yudi. Tapi belum sempat Sofi menjawab, wanita paruh baya itupun muncul.
“Eh ‘nak Yudi sudah datang toh. Gimana kue buatan Sofi? Enak nggak?”
“Enak tante. Ternyata Sofi pintar juga yah bikin kue seenak ini.” Yudi memuji. Sofi hanya tersenyum dan tersipu malu.
Mereka pun larut dalam obrolan yang panjang. Mulai dari masalah pekerjaan, keluarga, hingga masalah asmara. Karena keasyikan ngobrol tak terasa hari sudah mulai sore. Yudi pun bergegas untuk pulang.
“Sofi, tante. Kayaknya dari tadi kita keasyikan ngobrol deh sampai lupa waktu. Ini sudah sore, aku juga ada janji dengan Ivan malam ini, kalau gitu aku mau pamit pulang dulu.” Ujar Yudi.
“Iya yah. Tapi kamu pasti heran kan? Kenapa tante memanggil kamu kesini.  Tunggu sebentar ‘nak Yudi. Tante mau memberikan sesuatu sama kamu.” Mamah Sofi pun berjalan menuju sebuah ruang untuk mengambil barang yang akan di berikan kepada Yudi.
“Mamahmu ingin memberikan apa sih, Fhi?” Tanya Yudi penasaran.
“Udah, kamu liat aja nanti. Aku yakin kamu pasti menyukainya.” Sahut Sofi sambil tersenyum.
“Nah. Ini tante buat khusus untuk kamu ‘nak. Mudah-mudahan kamu suka yah. Tapi di bukanya nanti dirumah.” Sambil menyodorkan lukisan yang terbungkus rapi itu. “Tante perhatikan waktu pertama kali kamu kesini, kamu sangat tertarik dengan lukisan disana. Akhirnya tante berinisiatif untuk membuatkan kamu lukisan juga, meskipun itu agak sedikit berbeda.”
“Aduh tante, aku jadi nggak enak sama tante dan Sofi. Sampai segitu repotnya.” Ujar Yudi.
“Udah. Kamu terima aja. Mumpung gratis kan? He-he-he. Sofi tertawa diiringin dengan gelak tawa Yudi dan Mamah Sofi.
“Iya mumpung gratis. Tapi makasih lho tante, Sofi. Aku sangat menghargai ini.”
“Sama-sama ‘nak Yudi.”
“Kalau gitu aku pamit dulu.”
“Iya. Hati-hati di jalan ‘nak.”
Yudi pun pamit dan diantar oleh Sofi sampai ke depan pagar. “Fhi, makasih yah. Ini benar-benar kejutan buat aku.” Yudi tersenyum. “Sama-sama, yank.” Sofi membalas senyum Yudi. Kemudian Yudi melaju dengan mobilnya, hingga luput dari penglihatan Sofi.
Akhir-akhir ini Yudi sangat di sibukkan oleh pekerjaannya di kantor, terlebih karena sekarang Papahnya sedang sakit dan di vonis mengidap penyakit jantung koroner. Sehingga dia harus mendapat perawatan yang intensif di rumah sakit luar negeri, dan Yudi pun  harus bekerja ekstra agar perusahaan yang saat ini sudah menjadi tanggung jawabnya tidak mengalami kebangkrutan. Sofi pun terbilang sibuk dengan pekerjaannya karena dia sudah bekerja di beberapa tempat kursus bahasa asing, karena kemahirannya menguasai beberapa bahasa asing. Tapi perhatian Yudi kepada Sofi, begitu pun Sofi kepada Yudi tidak berkurang sedikitpun, sebisa mungkin mereka bertemu di sela-sela kesibukannya dan saling berbagi cerita.
Suatu hari, Yudi menerima telephone dari Papahnya yang berada di luar negeri. Meminta Yudi untuk sementara ikut pindah kesana, karena Papahnya tidak sanggup mengurusi bisnisnya sendiri yang juga sudah semakin berkembang di luar negeri.
“Tapi pah, aku juga tidak bisa serta merta meninggalkan bisnis Papah disini. Ini juga penting pah.” Ucap Yudi kepada Papahnya diseberang telephone.
“Kamu nggak usah khawatir, Yud. Papah sudah bicara dengan paman kamu, Edwin Setiawan. Dia siap memimpin perusahaan selama kamu mengurusi bisnis Papah disini.” Ujar Papah Yudi. “Kamu nggak usah takut, paman kamu itu adalah salah satu orang kepercayaan Papah.” Papahnya meyakinkan.
“Oke, Pah. Aku akan berangkat 3 hari lagi.” Tanpa berfikir panjang, Yudi langsung menyetujui permohonan Papahnya. Mengingat bisnis keluarganya yang terbilang sangat penting dan kesehatan Papahnya yang semakin hari semakin memburuk.
Sofi bangun lemas dari ranjangnya. Dengan lunglai ia merebahkan tubuhnya lagi ke atas kasurnya yang hangat, lalu memejamkan mata. Kenapa perasaanku nggak enak yah? Tadi serasa mimpi buruk, pikirnya. Tapi Sofi tidak tahu pasti artinya. Kejadian itu membuatnya gemetaran dalam tidurnya dan sekaligus membuatnya terpaksa bangun dengan rasa tidak nyaman.
Siang itu, Yudi dan Sofi bertemu di taman yang sudah menjadi tempat favorit mereka. Awalnya mereka masih santai dengan obrolan mereka, tertawa. Tapi kemudian dengan hati yang berdebar Yudi memberanikan diri membicarakan rencananya pindah ke luar negeri.
“Fhi, kamu baik-baik aja kan?” Tanya Yudi sembari menatap wajah Sofi.
“Kok kamu tiba-tiba nanya kayak gitu sih, yank? Yah aku baik-baik ajalah. Emang kamu liat aku sakit yah?” Sofi menggeleng kepala.
“Nggak sayang, aku hanya mengkhawatirkan kamu aja. Yank, aku pengen ngomongin sesuatu, boleh?” Yudi memandang Sofi dengan pandangan serius.
“Kamu mau ngomongin apa, yank?” Tanya Sofi keheranan.
“Hmmm…. “ Yudi mengatur nafasnya. “Aku nggak tahu harus mulai dari mana. Fhi, sebelumnya aku minta maaf sama kamu, ini mungkin agak berat untuk kamu terima. Dua hari lagi aku harus berangkat keluar negeri, yank. Ujung-ujungnya aku juga yang harus mengurus semua bisnis Papah. Ini……” Yudi terbata-bata dan tak melanjutkan ucapannya.
Sofi tak berkata-apa-apa. Dia hanya menunduk diam dan tak mau menatap wajah Yudi. Sangat jelas di raut wajahnya dia sangat kaget, tiba-tiba Yudi ingin pindah keluar negeri.
“Fhi, dengar ini juga bukan keinginanku. Ini keinginan Papah dan kamu tahu kan sekarang kondisi kesehatan Papah gimana? Aku nggak mau mengecewakan Papah. Sofi masih membisu. Suasana hening untuk beberapa saat.
“Yank, percaya sama aku. Ini juga untuk kita berdua nantinya. Aku nggak akan lama.” Yudi berusaha membujuk Sofi agar mau bicara.
“Berapa lama?” Sofi akhirnya bicara.
“Mungkin satu tahun, atau mungkin kurang dari itu, atau malah lebih. Aku nggak tahu, Fhi.” Yudi mendesah nafas.
“Apa? Satu tahun? Mungkin kurang? Atau mungkin malah lebih? Kamu ini bicara apa sih Yud, satu tahun itu bukan waktu yang singkat. Nada suara Sofi meninggi dan dia mulai menangis, terlihat di ujung kelopak matanya genangan air mata tak kuat menampungnya dan akhirnya tumpah juga.
“Yank, dengerin aku…………” Sambil memegang tangan Sofi namun tak melanjutkan ucapannya. Tapi Sofi malah melepaskan genggaman tangan Yudi.
“Kenapa, Yud? Kenapa kamu harus pergi di saat perasaan sayangku semakin besar kepadamu?” Sofi semakin terisak-isak.
“Fhi, dengerin aku. Ini bukanlah perpisahan untuk selamanya antara kita. Aku tidak akan meninggalkanmu.”
“Lalu apa namanya kalau bukan meninggalkan aku?”
“Kita memang akan terpisah oleh jarak, yank. Tapi kamu harus tahu hatiku, hatimu tidak akan terpisahkan. Kamu akan selalu ada di hatiku. Disini….” Yudi menunjuk ke dadanya.
“Lihat aku yank.” Yudi memegang dagu Sofi dan mengangkat wajahnya yang sudah kelihatan merah dan mata yang sembab. “Aku ingin jadi cowok yang bisa kamu banggakan. Itu tekadku sebagai cowokmu. Kemarin-kemarin aku sempat berfikir, di mana nilai seorang laik-laki itu? Tapi setelah aku ingat Papahku, ingat almarhumah Mamah, dan dikasih tahu sama Lidya juga, aku punya kesimpulan. Nilai seorang laki-laki itu terletak pada kemampuan dia untuk menjalankan tanggung jawabnya pada lingkungan, pekerjaan, keluarga, dan terutama pada diri sendiri. Dan bagiku, nilai seorang Yudistira Pratama adalah seberapa mampu dia menjaga, menyayangi, dan membuat bangga Papahnya, adiknya, dan Aina Sofia. Yap, aku ingin bisa menjadi orang yang kamu banggakan, Fhi. Seperti dalam cerita, from zero to hero.”
Sofi menatap Yudi begitu dalam, namun dia hanya membisu. Tapi tak berapa lama kemudian Sofi akhirnya bicara lagi.
“Aku sayang sama kamu, Yud.” Sofi memeluk Yudi begitu erat dengan air mata berlelehan di pipinya.
“Aku juga sayang sama kamu, Fhi. Percayalah apa yang aku lakukan ini untuk kita berdua.”  Yudi pun memeluk Sofi.
“Jaga cinta kita yah, sayang. Aku percaya sama kamu.” Ujar Sofi dengan suara serak tapi dia berusaha tersenyum.
“Pasti sayang. Aku akan jaga cinta kita. Menjaga hatiku dan hatimu.” Yudi kembali memeluk Sofi dan mencium keningnya.
Sofi akhirnya bisa menerima keputusan Yudi yang untuk sementara waktu harus tinggal di luar negeri bersama Papahnya dan mengurusi bisnis mereka disana. Dua hari kemudian Yudi pun berangkat keluar negeri, Sofi mengantarnya sampai ke bandara. Namun walaupun begitu, hati Sofi tetap terasa sakit karena harus terpisahkan oleh jarak yang begitu jauh dengan sang kekasih. “Yud, sesungguhnya aku masih sulit menerima ini. Ketika harus terpisah jauh olehmu, aku tak bisa. Dengan waktu yang tak pasti, aku harus setia menunggumu disini.” Lirih terdengar suara hati Sofi.

Sebelum tengah malam, biarlah aku meletakkan
Setangkai mawar di tepi jendelamu
Sebagai pengingat janji kita
Bila tanah ini sudah kering dan terpuas birahi, mari
Kita rajut mimpi-mimpi yang kita titipkan pada
Bulan di atas sana


0 comments :

Posting Komentar

Silahkan Comment