Senin, 18 Maret 2013

Senyum Sang Mentari

 Ada seorang gadis yang sangat sederhana dan apa adanya, dalam urusan asmara dia terbilang susah untuk betul-betul menerima seorang lelaki, bukan karena dia pemilih-milih tapi karena dia tak ingin salah dalam memilih. Prinsipnya sekali jatuh cinta maka dia tak akan melepaskan cintanya itu sampai Tuhan memisahkan. Namun kemudian dia jatuh cinta pada seorang pemuda yang bisa dibilang tampan, cerdas dan sangat dewasa. Mereka pun berkenalan, sejak awal bertemu gadis itu langsung mengagumi sosok pemuda tersebut, hingga akhirnya benih-benih cinta mulai tumbuh di hati sang gadis. Namun tak di sangka, sang pemuda juga ternyata diam-diam memendam perasaan yang sama padanya. Gadis itu bernama Aina Sofia yang akrab disapa Sofi, dan pemuda itu bernama Yudistira Pratama yang akrab disapa Yudi.

AWAL PERTEMUAN
Hujan turun begitu lebatnya hingga menghambat perjalanan Sofi yang saat itu pulang dari tempat kursusnya, dia pun memutuskan untuk berteduh di depan sebuah kios lelaki Tionghoa.
“Koh, aku numpang berteduh sebentar ya?”
“Iya, silahkan saja.
 Sambil menyeka rembesan air hujan yang mengguyurnya dia menoleh kekiri dan kekanan lalu menatap lurus ke depan jalanan raya yang kuyup karena derasnya hujan, begitu sepi hanya beberapa orang saja yang terlihat lewat sambil berlari kecil mencari tempat berteduh. Di tengah asyiknya menikmati kesyahduan suara hujan tiba-tiba datang seorang lelaki.
“Numpang berteduh Koh.
Lelaki Tionghoa itu hanya tersenyum dan menganggukkan kepala. Tanpa menyadari bahwa ada seorang gadis yang sedang bersamanya berteduh di tempat yang sama, pemuda itu mengepak-ngepakkan rambutnya yang basah kuyup diguyur hujan hingga menciprat wajah sang gadis sampai bersin. “Acchiinn, duh”. Pemuda itu kemudian menoleh dengan raut wajah kaget dan berkata “Eh ada orang ternyata disini, maaf.” Dengan senyum kecutnya. Sofi langsung terpana memandang wajah si pemuda, “Sungguh indah memahat wajahmu duhai sang…………” kicaunya dalam hati namun buru-buru memotong ucapannya dan tertunduk menatap lantai kios.
Setelah beberapa lama hujan semakin deras disertai petir yang menggelegar, dengan perasaan yang sungkan lelaki itu kemudian melangkah kesamping menghampiri gadis tersebut dan memberanikan diri untuk berkenalan.
“Maaf, tentang kejadian tadi. Aku benar-benar tidak tahu kalau ternyata mbak ada di dekatku.” Berusaha memekarkan senyumnya.
“Oh iya nggak apa-apa kok.” Menjawab seadanya. Namun dadanya bergetar hebat
“Hmm,,, kalau boleh tahu nama mbak siapa?” memberanikan diri berkenalan.
Gadis itu tak menjawab, hanya menoleh sebentar kemudian menatap lagi ke jalan raya.
“Oh, maaf kalau aku salah ngomong.” Kata si pemuda
“Namaku Sofi, Aina Sofia.” Sambil mengulurkan tangannya berniat menjabat.
Dengan senyum pemuda itu menjawab “Aku Yudi, Yudistira Pratama.” Menjabat tangan sang gadis.
Mereka pun berkenalan dan ngobrol layaknya orang yang baru bertemu. Akhirnya hujan reda juga setelah kurang lebih hampir 2 jam mengguyur semesta. Obrolan mereka pun berakhir.
“Mas Yudi, aku duluan yah” kata Sofi
“Iya, iya, hati-hati dijalan mbak Sofi”
Sofi pun pergi meninggalakn kios itu dengan sedikit berlari kecil, karena waktu itu Sofi tak memakai kendaraannya sebab jarak antara tempat kursus dan rumahnya tidak begitu jauh.   “Ayu sekali paras gadis itu, senyum yang tersungging di bibirnya begitu indah, sederhana namun bersahaja. Aina Sofia nama yang indah” ujarnya dalam hati. Ternyata Yudi melupakan sesuatu, “Ah, kenapa aku lupa menanyakan alamatnya.” Sambil menyentakkan kaki di lantai. Buru-buru dia mengendarai motornya dan mengejar Sofi yang belum terlalu jauh.
“Piiip piiippp” Yudi membunyikan klakson motornya.
“Eh Mas Yudi, ada apa lagi mas? Ada yang ketinggalan tadi?” Sofi menoleh, bertanya keheranan
“Iya mbak Sofi, aku lupa nanyain alamat mbak dimana?he…. he…”
Dengan senyum khasnya Sofi menunjuk ujung jalan “Itu di depan sana mas, sebelum belokan itu rumah aku.” Kemudian menawarkan “Kalau mas Yudi mau mampir silahkan saja, nggak apa-apa. Karena hujan juga belum reda banget, kan?”  
Yudi tersenyum sumringah “Kalau mampir sekarang boleh nggak mbak? Ya nggak ada maksud lain sih, cuma pengen liat rumah mbak aja.” Sofi mengangguk tanda mengiyakan.
“Naik aja ke motorku mbak, biar ku bonceng sampai depan rumah.” Usul Yudi.
“Makasih mas tapi udah dekat kok, biar aku jalan kaki saja.”
Setelah sampai di depan pagar rumah Sofi, Yudi pun memarkir motornya, di garasi terlihat sebuah motor keluaran terbaru yang memang hanya cocok untuk seorang wanita. Lalu di ajak oleh Sofi untuk masuk. “Mari silahkan masuk Mas Yudi, maaf rumah Sofi berantakan.” Sela Sofi. “Oh tidak, tidak. Rumah serapi ini masih mbak Sofi bilang berantakan? Wah,sampai segitunya dengan kerapihan.” Mereka tertawa berbarengan.
Sembari melihat-lihat isi rumah Sofi yang terbilang sederhana namun desain interiornya sangat indah dan eksotik,coretan warna disetiap dinding terlihat sangat menyatu dengan pernak pernik yang ada di dalam rumah itu, menandakan si penghuni rumah sangat menyukai seni. Yudi tersenyum takjub. Memang kedua orang tua Sofi adalah seorang seniman, dua-duanya pelukis. Kemudian Sofi datang dengan membawa secangkir teh hijau hangat asli dari Jepang di iringi dengan seorang wanita paru baya.
 “Kenapa mas Yudi?” suara Sofi mengagetkan Yudi yang sedang asyik menikmati seluruh keindahan rumah itu, lalu menoleh.
“Eh mbak Sofi, aku benar-benar terpesona dengan keindahan lukisan disana” sambil menunjuk sebuah lukisan seorang gadis berparas ayu.
 “Oh itu hadiah ulang tahunku mas, dari almarhum Papah” kemudian menyuguhkan secangkir teh hangat dari Jepang itu.
“Oh ya mas, kenalin ini Mamah”, “Mah, ini mas Yudi. Pemuda yang aku ceritakan tadi.”
Wanita paru baya itu tersenyum lalu menyalami Yudi, Yudi pun membalas “Yudi. Yudistira Pratama, tante.”
Mereka pun ngobrol, dan keakraban mulai tercipta di antara mereka. Tanpa sungkan Yudi lalu menunjukkan kepiawaiannya memainkan piano di depan Sofi dan Mamahnya.

KEAKRABAN YANG TERJALIN
Setelah pertemuan dan perkenalan itu, Yudi dan Sofi semakin dekat. Yudi ternyata juga hanya tinggal bersama satu orang tua, yaitu Papahnya. Mamahnya meninggal karena kecelakaan pesawat ketika hendak berlibur keluar negeri. Yudi termasuk orang yang berada namun begitu dia tidak pernah merasa tinggi hati dan menyombongkan diri. Dia pemuda yang mandiri dan sangat sederhana.  Karena kesederhanaan itulah Aina Sofia akhirnya jatuh hati pada Yudistira Pratama.
Suatu hari, Sofi pergi ke sebuah supermarket membeli kebutuhan yang sudah hampir habis di rumah, ditemani oleh seorang sahabatnya bernama Wulan. Lalu di tengah perjalanan pulang ban motornya maticnya bocor.
“Aduh gimana nih Lan, bannya bocor,” dengan wajah kesal.
“Hmmm,, gimana dong Fhi, bengkel dari sini masih jauh” ujar Wulan kebingungan.
“Iya nih, mana bentar lagi bakal turun hujan” Sofi mengeluh.
Tak berapa lama sebuah motor dari jauh melaju dengan kecepatan 60 km/jam. “Stop, stop, stooppp” Sofi dan Wulan berbarengan menghentikan motor tersebut. Lalu si pengendara menghentikan laju motornya dan membuka helmnya “Mbak Sofi?”, “Mas Yudi?” sahut Sofi, tersenyum dan merasa lega.
“Kenapa mbak?”
“Ini lho mas, ban motorku bocor. Aku bingung mas soalnya bengkel dari sini masih jauh.”
Wulan hanya tercengang melihat sosok tampan yang ada dihadapannya, tak berkata apa-apa. “Hmm, sebentar mbak. Aku ada langganan bengkel, nanti aku telpon dia suruh kesini buat gantiin ban motornya mbak Sofi, nggak lama kok.” Yudi menawarkan, lalu menelpon bengkel langganannya.
“Tapi nggak bakalan lama kan mas? Soalnya Mamah nungguin di rumah, mau bikin kue untuk arisan.” Kata Sofi
“Iya nggak lama, sebentar lagi juga datang.” Yudi tersenyum.
Sembari menunggu tukang bengkel langganan Yudi datang mereka pun menghampiri penjual bakso yang sedang nongkrong di pinggir jalan.
“Baksonya 3 yah  mas.” Pesan Sofi kepada mas penjualnya, sambil melebarkan senyum khasnya.
Hati Yudi berbisik pelan “Ya Tuhan, gadis ini sungguh menawan. Tutur bahasanya begitu lembut, parasnya yang ayu, sikapnya begitu baik dan sangat bersahaja. Hatinya bagai mutiara. Siapakah yang telah memiliki hatimu duhai gadis berparas ayu…..?. Yudi tersentak.
“Ehm, mas Yudi pernah kan makan bakso?” Sofi bertanya agak malu.
“Lho kok mbak Sofi  bertanya seperti itu? Apa karena aku anak orang berada sehingga mbak Sofi memandangku seperti itu? Tenang saja mbak, aku juga punya langganan penjual bakso, kapan-kapan aku akan ngajak mbak Sofi makan disana. Di jamin mbak Sofi bakal ketagihan.” Mereka pun tertawa. “Ya Tuhan, betapa sederhananya pemuda ini, biarpun dia orang kaya tapi dia tidak pernah menyombongkan diri atas apa yang dimilikinya. Dia tampan, cerdas, mandiri, dewasa dan sepertinya penyayang. Sempurna. Andai aku………..” Sofi berceloteh dalam hati hingga lamunannya dipecah oleh pertanyaan Yudi.
“Ngomong-ngomong, ini siapa mbak? Dari tadi dia kok nggak pernah ngomong, hanya sesekali menatapku.”
“Oh, kenalin mas ini Wulan. Sahabatku dari kecil.”
“Wulan ini mas Yudi, teman aku yang kuceritakan kemarin.” Merekapun berjabat tangan, berkenalan dan berbincang-bincang.
Akhirnya, ban motor Sofi selesai juga ditambal. “Mas Yudi, makasih yah. Aku memang selalu merepotkan.” Ujar Sofi.
“Ah, nggak apa-apa kok mbak Sofi. Santai saja.”.
“Ya udah mas. Aku pamit dulu, Mamah dari tadi udah nunggu. Ayo Lan.”
“Iya hati-hati mbak. Eh nggak usah bilang mas, Yudi aja. Kan kenalnya udah lama.”
“Iya mas, e-eh Yudi maksudnya. Iya Yudi. Aku juga, Sofi aja. Nggak usah pake mbak, kesannya ketuaan banget. He…he…
“Ekhmmm…… Uuuhh kalian ini, bercandanya udah dulu yah bentar lagi hujan tuh. Ayo Fhi.” Ketus Wulan sambil mengajak Sofi pulang.

0 comments :

Posting Komentar

Silahkan Comment